Opini

Dari Transparansi hingga Empati: Sosok Pemimpin yang Diidamkan Generasi Muda Pada Pilkada 2024

Dari Transparansi hingga Empati: Sosok Pemimpin yang Diidamkan Generasi Muda Pada Pilkada 2024 Oleh : Maulana Aji Nugraha Pendahuluan Pilkada 2024 yang dilaksanakan serentak diseluruh wilayah di Indonesia merupakan momen kunci dalam lanskap politik Indonesia dan Daerah terlebih lagi saat ini, terutama bagi generasi muda yang semakin aktif dan berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan publik. Generasi Z dan Milenial, yang merupakan bagian besar dari pemilih muda, mencari sosok pemimpin dengan kualitas tertentu yang sesuai dengan nilai dan harapan mereka. Disini kami akan mengupas karakteristik pemimpin yang diidamkan oleh para kawula/kaum muda, dari transparansi hingga empati, serta bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi hasil Pilkada 2024. Karakteristik Pemimpin yang Diidamkan oleh Kaum Muda 1. Transparansi Transparansi menjadi salah satu nilai penting yang dicari oleh generasi muda dalam sosok pemimpin. Para Pemuda yang saat ini di dominasi oleh Generasi Milenial dan Z ingin pemimpin yang terbuka tentang kebijakan, keputusan, dan penggunaan anggaran. Keberanian untuk menghadapi publik dengan keterbukaan informasi menciptakan kepercayaan dan akuntabilitas. Menurut survei oleh We Are Social, 89% generasi muda percaya bahwa transparansi dalam pemerintahan adalah kunci untuk memerangi korupsi dan meningkatkan partisipasi politik. 2. Empati Empati adalah kualitas penting yang diinginkan kaum muda dari pemimpin mereka. Pemimpin yang empatik mampu memahami dan merespons kebutuhan serta kekhawatiran masyarakat dengan cara yang lebih manusiawi dan sensitif, serta akan berdampak kepada pengambaran kepada para pemuda bahwasanya yang bersangkutan adalah pemilih yang sangat arif dengan nilai plus pada penilaian elekbilitas calon pemimpin tersebut. Pew Research Center melaporkan bahwa 72% generasi muda merasa lebih terhubung dan termotivasi untuk berpartisipasi dalam politik jika mereka merasa pemimpin mereka memahami dan peduli terhadap isu-isu yang mereka hadapi. 3. Inovatif dan Adaptif Generasi muda khususnya para kaum Milenial dan Gen Z menginginkan pemimpin yang inovatif dan mampu beradaptasi dengan perubahan cepat di era digital. Mereka mencari pemimpin yang dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan dan menjawab tantangan modern dimana perkembangan teknologi yang massif ini dapat dilakukan untuk apa saja terlebih di era gempuran launchingnya AI atau kecerdasan buatan yang dapat diakses melalui berbagai platform harusnya bisa dimanfaatkan dengan bijaksana dan tepat guna oleh para pemimpin. McKinsey & Company menyatakan bahwa 67% Milenial dan Gen Z lebih cenderung mendukung pemimpin yang mengintegrasikan teknologi dalam kebijakan publik untuk memecahkan masalah kompleks. 4. Keterlibatan dan Partisipasi Pemimpin yang mampu melibatkan generasi muda dalam proses pengambilan keputusan dan mendorong partisipasi aktif dianggap lebih relevan. Kaum muda ingin memiliki suara dalam keputusan yang mempengaruhi masa depan mereka.  Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa partisipasi pemilih muda meningkat pesat pada Pilkada sebelumnya, dengan data menunjukkan bahwa keterlibatan mereka dalam politik lokal terus berkembang. 5. Progresif dan Berorientasi pada Keadilan Sosial Pemimpin yang mendukung perubahan sosial progresif dan keadilan sosial menarik perhatian kaum muda. Mereka menginginkan pemimpin yang berkomitmen pada isu-isu seperti kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan keberlanjutan lingkungan. CSIS (Centre for Strategic and International Studies) melaporkan bahwa pemimpin yang berfokus pada keadilan sosial dan keberlanjutan mendapat dukungan lebih tinggi dari generasi muda Kesimpulan Generasi muda Indonesia menginginkan pemimpin yang tidak hanya efektif dalam menjalankan pemerintahan tetapi juga transparan, empatik, inovatif, dan progresif. Dalam Pilkada 2024, sosok pemimpin yang dapat memenuhi harapan ini akan memiliki peluang besar untuk meraih dukungan dari pemilih muda dan membawa perubahan positif bagi negara dan Daerahnya. Dengan memahami dan merespons nilai-nilai ini, calon pemimpin dapat membangun kepercayaan dan memotivasi generasi muda untuk berpartisipasi lebih aktif dalam proses politik dan pembangunan dinamika politik serta daerah yang lebih berkemajuan, inovatif, kreatif, dan penuh nuansa bergembira/ nan suka ria yang di idam-idamkan oleh para kawula muda . Tertarik membaca tulisan lengkap dari Aji Maulana Ibrahim, silahklan download di link berikut.   Portofolio Penulis: Maulana Aji Nugraha/ Masgram Identitas Pribadi Nama: Maulana Aji Nugraha Alamat: Jl. KH. Wahid Hasyim No. 599 Kauman RT 01/RW 02 Temanggung II Status: Jomblo Bahagia dan Berkarisma Email: maulanaaji137@gmail.com WA: +62 895-3826-44634 -IG : mas.maulanaajin Tentang Saya Sugeng Kepanggih, saya Maulana Aji Nugraha. Saat ini, saya sedang dalam proses studi akhir sarjana dan menyibukkan diri dalam dunia tulis-menulis. Saya percaya bahwa setiap tulisan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi, menginspirasi, dan membentuk opini. Sebuah sosok pemimpin Besar Indonesia Ir. Soekarno pernah berkata “Barang siapa ingin mutiara, harus berani terjun kedalam laut yang dalam” kata-kata tersebut walaupun singkat sangat bermakna bagi saya untuk selalu berusaha sekuat tenaga dalam mengapai apa yang diinginkan. Dengan latar belakang akademis yang solid dan pengalaman menulis yang berkembang, saya berkomitmen untuk menghasilkan karya yang berkualitas dan berdampak baik itu melalui tulisan atau sebuah Gerakan dalam masyarakat yang langsung berdampak kedepannya.

Mempertimbangkan Beban Kerja Badan Adhoc pada Pemilu Serentak

Mempertimbangkan Beban Kerja Badan Adhoc pada Pemilu Serentak Oleh: Ania Safitri Staf Bagian Teknis dan Hupmas Sekretariat KPU Kabupaten Temanggung PADA 9 Juni 2021 lalu, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan atas pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dengan nomor perkara 16/PUU-XIX/2021. Pemohon uji materi ini adalah mantan penyelenggara adhoc Pemilu Serentak Tahun 2019 lalu. Para pemohon menyampaikan beban kerja penyelenggara di tingkat KPPS, PPS, dan PPK yang dipandang sangat berat. Salah satu pemohon uji materi tersebut, Dimas Permana Hadi, yang merupakan mantan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) menyampaikan pemilu dengan lima kotak suara membuat beban kerja badan adhoc relatif berat. Dimas bercerita KPPS bekerja sehari sebelum pemungutan suara dilakukan dan penghitungan suara berakhir pukul 24.00 WIB di hari yang sama dengan pemungutan suara. Selanjutnya, KPPS masih harus menyalin formulir berita acara pemungutan dan penghitungan suara sampai dengan pukul 02.00 dini hari bahkan ada yang selesai pukul 06.00 keesonak harinya. Dimas berharap beban kerja badan adhoc di Pemilu 2019 tidak terulang lagi pada Pemilu Serentak 2024 dan lebih manusiawi. (https://rumahpemilu.org/mk-diharap-pertimbangkan-pengalaman-penyelenggara-ad-hoc-pada-pemilu-2019) Pengalaman Dimas tersebut bisa jadi terulang kembali oleh penyelenggara adhoc apabila model keserentakan Pemilu dan ketentuan tidak berubah. Pada Februari lalu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 telah memberi sinyal kepada pembuat undang-undang untuk dapat mengubah model keserentakan Pemilu sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Namun, nampaknya hingga saat ini, model keserentakan Pemilu Tahun 2024 akan tetap sama dengan Pemilu 2019 karena tidak ada rencana perubahan Undang-Undang 7/2017. Peneliti Senior LIPI, Syamsuddin Haris melihat Pemilu Serentak 2019 tidak semata-mata terkait keserentakan Pemilu tetapi pada pengaturan durasi waktu pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS oleh KPPS. Menurutnya, pembentuk UU semestinya dapat menghitung potensi kerumitan dan beban KPPS sehingga tidak memaksakan pemungutan dan penghitungan suara dalam waktu satu hari. (https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_6797.pdf) Syamsuddin menegaskan, salah satu sumber permasalahan tragedi kemanusiaan penyelenggara Pemilu dan kesulitan Pemilih pada Pemilu Serentak 2019 adalah penumpukan lima surat suara dalam satu waktu bersamaan serta implementasi sistem proposional terbuka dengan 16 (enam belas) Partai Politik Peserta Pemilu. Sejalan dengan hal tersebut, Anggota Divisi Teknis Penyelenggara KPU Provinsi Jawa Tengah, Putnawati memandang beban kerja badan adhoc menjadi salah satu potensi masalah yang akan dihadapi dalam keserentakan Pemilu 2024. Hal ini disampaikan pada diskusi Rabu Ingin Tahu yang diselenggarakan KPU Provinsi Jawa Tengah secara daring belum lama ini. Menurutnya, perlu ada penyesuaian mekanisme kerja sehingga masalah beban kerja penyelenggara adhoc dapat diminimalisir. Tidak adanya jaminan kesehatan bagi Badan Adhoc dengan beban kerja yang berat dalam Pemilu Serentak, menurut Putnawati juga menjadi potensi masalah. Ahli Hukum Tata Negara, Topo Santoso menegaskan perlu adanya jaminan keselamatan, kesehatan dan pemberian beban kerja yang manusiawi bagi seluruh pihak yang bekerja dalam pemilu, khususnya petugas Pemilu. Pengoptimalan teknologi dalam proses pemilu terutama pada penghitungan dan rekapitulasi suara menjadi salah satu pilihan menyelesaikan persoalan beban kerja petugas itu. (https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_6797.pdf) Apabila Pemilu serentak dengan lima kotak suara dilakukan dalam satu hari, dan semuanya dilakukan secara manual, maka akan membawa dampak dan implikasi bagi beban kerja serta kesehatan dan keselamatan petugas pemilu. Mengingat, adanya batasan waktu dalam proses penghitungan dan rekapitulasi suara serta jumlah dokumen berita acara yang harus diisi. Meminimalisir persoalan beban kerja badan adhoc tersebut, KPU dipandang perlu untuk membuat pengaturan-pengaturan teknis yang dapat mengurangi beban penyelenggara terutama KPPS pada hari pemungutan dan penghitungan suara. Wacana redesain surat suara serta penggunaan teknologi pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara menjadi penting untuk terus dikaji sehingga dapat meringankan beban penyelenggara pada Pemilu Serentak Tahun 2024.[]

Menakar Penyederhanaan Surat Suara Pemilu Serentak 2024

Menakar Penyederhanaan Surat Suara Pemilu Serentak 2024 Oleh: Ania Safitri Staf Bagian Teknis dan Hupmas Sekretariat KPU Kabupaten Temanggung   KOMISI II DPR bersama dengan pemerintah dan penyelenggara Pemilu, yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP telah melaksanakan rapat bersama (konsinyering) dan memutuskan pemungutan suara Pemilu Serentak Tahun 2024 dilakukan pada tanggal 28 Februari 2024. (https://nasional.kompas.com/read/2021/06/04/12324011/disepakati-di-dpr-pilpres-2024-digelar-28-februari-pilkada-serentak-27) Dasar hukum pelaksanaan Pemilu 2024 masih mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU 7/2017) tentang Pemilihan Umum. Tidak adanya perubahan Undang-Undang Pemilu, tentu juga tidak akan mengubah ketentuan-ketentuan dalam Pemilu Serentak Tahun 2024. Padahal, dari beberapa evaluasi pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019, dipandang perlu untuk melakukan perubahan Undang-Undang, terutama terkait dengan banyaknya kasus kematian Badan Adhoc. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, petugas KPPS pada Pemilu 2019 yang sakit mencapai angka 11.239 orang dan korban meninggal dunia sejumlah 527 jiwa. (https://nasional.kompas.com/read/2019/05/16/17073701/data-kemenkes-527-petugas-kpps-meninggal-11239-orang-sakit?page=all) Kelelahan pada saat penghitungan suara dipandang menjadi salah satu penyebab jatuh sakit dan meninggalnya petugas KPPS. Beban kerja yang terlalu tinggi dan riwayat penyakit meningkatkan resiko terjadinya kematian dan jatuh sakitnya petugas Badan Adhoc. Sistem proposional dengan daftar terbuka disertai daerah pemilihan (dapil) yang besar dan sistem multipartai berkonsekuensi pada desain surat suara yang besar dan lebar terutama untuk jenis Pemilihan Anggota DPR dan DPRD. Ketentuan Pasal 342 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur surat suara calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah Pemilihan.  Mengacu pada ketentuan tersebut, maka dalam 1 (satu) lembar surat suara pada Pemilu Anggota DPR Tahun 2019 terdapat 16 (enam belas) logo partai politik beserta nomor urut, 160 (seratus enam puluh) nama calon anggota DPR beserta nomor urut (dengan asumsi setiap partai mengusulkan jumlah calon paling banyak 10) serta berukuran 51 x 82 cm (Keputusan KPU Nomor 1944/PL.02-Kpt/01/KPU/XII/2018). Bentuk dan desain surat suara yang besar dan lebar tersebut, terutama untuk Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota mengakibatkan petugas KPPS lelah dalam melakukan tahapan penghitungan suara. Tingginya surat suara tidak sah pada Pemilu 2019 juga menjadi evaluasi yang perlu diperhatikan sebagai implikasi dari desain surat suara yang tidak sederhana tersebut.  Berdasarkan penelitian yang dilakukan Perludem, merujuk pada sertifikat hasil Pemilu DPRD Provinsi Lampung dan Jawa Barat, tingginya surat suara tidak sah di pemilu legislatif bisa jadi disebabkan oleh dibiarkannya atau tidak dicoblos surat suara pemilu legislatif oleh pemilih. (Perludem, 2019, ‘’Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Dari Sistem Pemilu ke Manajemen Penyelenggaraan Pemilu’’) Bercermin dari kompleksitas desain surat suara dalam Pemilu Serentak serta memperhatikan aspek kemudahan bagi Pemilih, baik KPU maupun beberapa lembaga pemerhati Pemilu mewacanakan penyederhanaan surat suara. Ketua KPU, Ilham Saputra, menyampaikan saat ini sedang disusun kajian terhadap penyederhanaan desain surat suara. Ilham Saputra menyampaikan nantinya akan terdapat 1 (satu) atau 2 (dua) surat suara yang disampaikan ke Pemilih.(https://rumahpemilu.org/surat-suara-pemilu-2024-diusulkan-disederhanakan/) Wacana penyederhanaan surat suara juga disampaikan Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT). Surat suara diusulkan hanya 1 (satu) lembar serta mengusulkan daftar nama calon tidak dicantumkan dalam surat suara.          Namun, wacana penyederhanaan surat suara tentu juga harus mempertimbangkan ketentuan Undang-Undang Pemilu yang saat ini belum diubah oleh DPR. Ketentuan Pasal 342 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 masih mengatur hal-hal yang perlu dimuat dalam surat suara. Apabila desain surat suara disusun dengan hanya mencantumkan logo partai dan kolom kosong untuk menuliskan pilihan calonnya, maka perlu dipertimbangkan ketentuan Pasal 353 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur mekanisme pemberian suara dilakukan dengan mencoblos. Selain itu, KPU juga perlu melakukan redesain formulir Model C-Plano untuk menyesuaikan desain surat suara. KPU juga harus segera menyampaikan hasil kajian penyederhanaan desain surat suara kepada Komisi II DPR dalam rangka mendorong perubahan Undang-Undang untuk mengakomodir beberapa ketentuan desain surat suara dan mekanisme pemberian suara. (Ania)      

Menyingkap Nilai-nilai Luhur Pancasila dalam Pemilu

Menyingkap Nilai-nilai Luhur Pancasila dalam Pemilu   Oleh: Ani Arfiani Umar, MA Staf Bagian Program Data pada Sekretariat KPU Kabupaten Temanggung     SETIAP tanggal 1 Juni kita memperingati hari lahir Pancasila. Nilai-nilai luhur Pancasila yang termaktub dalam kelima sila Pancasila, luar biasa untuk diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk pada penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan pedoman bagi para peserta Pemilu sekaligus masyarakat sebagai pengguna hak pilih agar tidak mengusung sentimen agama untuk keperluan memeroleh dukungan suara atau memenangkan Pemilu. Sila pertama mengajarkan memberi kebebasan kepada masing-masing individu untuk meyakini agama dan kepercayaan masing-masing, menghormati agama orang lain, sekaligus tidak memaksakan kehendak atas agama dan kepercayaan yang diyakininya kepada orang lain. Demikian pula, dalam perhelatan Pemilu, sudah semestinya, setiap pemilih diberi kebebasan untuk menentukan preferensi pilihannya (atas partai politik atau calon) berdasarkan keyakinan hati nurani masing-masing, termasuk keyakinan agamanya, tanpa memaksakan keyakinan itu kepada orang lain, melainkan harus saling hormat menghormati atas keyakinan orang lain dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Kampanye negatif dengan memanfaatkan sentiment keagamaan demi memenangkan sebuah kontestasi politik, telah terbukti menimbulkan dampak keterbelahan, polarisasi, saling curiga, permusuhan, saling benci dan menebar dendam berkepanjangan sesama anak bangsa. Keadaan seperti itu tentu berlawanan dengan hasrat dan suasana kebatinan para pendiri negara kita saat melahirkan Pancasila dahulu, yang justru melalui Pancasila itulah, mereka berkeinginan untuk menyatukan berbagai golongan yang ada di bangsa kita, dengan menempatkan Pancasila di atas semua golongan. Setidaknya hal tersebut seperti tersirat dalam pidato Bung Karno tentang Pancasila pada 1 Juni 1945. Yakni ‘’Kita hendak mendirikan suatu negara, semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan satu golonga, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua’’ (https://www/krjogja.com/angkringan/historia/pidato-bung-karno-1 juni-1945) Adapun sila kedua Pancasila, Kemanusian yang Adil Beradab merupakan filosofi yang pada perhelatan Pemilu seharusnya terwujud dalam keadilan penggunaan hak memilih. Pada Pemilu, setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah berusia 17 tahun, sudah menikah atau pernah menikan, dan haknya tidak dicabut, memiliki hak untuk memilih pemimpinnya tanpa kecuali dan memiliki suara yang setara atau nilai dan derajat yang sama. Hak memilih tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin, usia, struktur sosial, maupun keterbatasan fisik dan mental. Hak memilih dalam Pemilu merupakan hak pilih universal atau universal suffrage yang dijamin penggunaannya secara berkeadilan untuk semua warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih sesuai ketentuan. Selain itu, Pemilu menjadi satu-satunya cara bagi calon-calon pemimpin untuk berkontestsai sekaligus berebut kekuasaan secara beradab. Mereka berkontes mengumpulkan suara dari para pendukungnya, yang diatur dalam suatu regulasi main secara jujur dan adil dalam Pemilu. Melalui Pemilu, perebutan kekuasaan atau kepemimpinan yang tidak adil, tidak beradab dan tidak demokratis, yakni melalui peperangan, penaklukan, kudeta ataupun pemberontakan, sebagimana yang terjadi pada masa lampau dinegasikan. Selanjutnya, Persatuan Indonesia, merupakan sila ketiga Pancasila yang menjadi pedoman bagi pemilih dan kontestan dalam Pemilu agar menjaga persatuan dan kerukunan dalam menggunakan hak pilih dan berkompetisi. Kemudian juga memelihara suasana Pemilu dalam kondisi aman damai, mampu meredam konflik, dan tidak mempertajam pembilahan identitas yang mengancam persatuan dan kesatuan berbangsa. Di samping menghindari perpecahan, sila ketiga Pancasila ini juga menjadi penyemangat bagi WNI agar berpartisipasi bersama-sama menyukseskan Pemilu, baik sebagai penyelenggara, peserta, maupun pemilih. Berikutnya, sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, adalah dasar adanya Pemilu dan berdemokrasi. Pemilu merupakan proses memilih pemimpin, dari, oleh, dan untuk rakyat. Hak memilih berasal dari rakyat kemudian dukungan suara terbanyak rakyat menghasilkan perwakilan pemimpin. Pemimpin inilah yang menyusun dan memutuskan kebijakan guna mengatur kepentingan rakyat. Sementara sila terakhir Pancasila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menjadi acuan bagi peserta Pemilu dan pemilih untuk menjunjung keadilan. Untuk terwujudnya keadilan dalam Pemilu para peserta Pemilu (parpol dan calon) dilarang melakukan pembelian suara atau mendistribusikan keuntungan baik material maupun non material kepada pribadi atau kelompok pemilih. Demikian pula, agar terjaga keadilan Pemilu, penyelenggara Pemilu tidak diperkenankan untuk melaksanakan tugas kepemiluan secara partisipan dengan memberikan keuntungan bagi kelompok atau peserta Pemilu tertentu, melakukan malapraktik dan fraud (kecurangan Pemilu), serta maladministrasi (kesalahan administrasi Pemilu). Adapun dari sisi pemilih, mereka tidak diperbolehkan untuk menjual suaranya kepada para peserta Pemilu, sebaliknya, dalam menggunakan hak suaranya harus secara cerdas. Dengan seluruh nilai-nilai sila Pancasila tersebut diterjemahkan dengan baik sekaligus diejawantahkan dalam pelaksanakaan Pemilu, diharapkan para pemimpin yang berintegritas dapat dihasilkan melalui proses demokrasi itu, sehingga cita-cita bangsa Indonesia yang tersemat sejak Indonesia merdeka dapat terwujud. Selamat Hari Lahir Pancasila.

Dibalik Partisipasi Pemilih Pemilu 2019

 Oleh: HENRY SOFYAN RO’IS Komisioner KPU Kabupaten Temanggung Divisi Sosialisasi,Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM PERSENTASE jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya dari total pemilih terdaftar pada Pemilu 2019 sangatlah tinggi. Secara nasional, angka partisipasi pemilih Pemilu 2019 itu ialah 81 persen. Yakni, ada 158.012.506 pemilih yang menggunakan hak pilihnya, dari keseluruhan jumlah pemilih terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) sebanyak 199.987.870 orang. Tingkat partisipasi pemilih itu melampaui target angka partisipasi KPU RI, yakni 77,5 persen. Juga meningkat signifikan disbanding partisipasi pemilih pada Pileg (Pemilihan Legsilatif) 2014 sebesar 75,10 persen, dan Pilpres (Pemilihan Presiden) 2014 sebanyak 69,58 persen. Tingginya angka partisipasi tersebut bisa dimaknai, masyarakat para pemilih sangat antusias atau bergairah menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Khususnya dalam pelaksanaan di dalam negeri, yang pemungutan suaranya digelar di TPS (Tempat Pemungutan Suara) pada 17 April 2019. Di balik keantusiasan para pemilih menggunakan hak pilihnya sehingga tingkat partisipasinya tinggi itu, sudah barang tentu ada faktor-faktor penyebab atau pemicunya. Melalui pencermatan terhadap sistem dan proses Pemilu 2019, kiranya bisa diungkap sejumlah asumsi yang menjadi faktor-faktor pemicu tingginya angka partisipasi tersebut. Faktor itu antara lain ialah, sistem Pemilu 2019 menggabungkan Pileg dan Pilpres. Pada Pemilu tahun-tahun sebelumnya, Pileg dan Pilpres dilaksanakan terpisah, dan secara nasional angka partisipasi pemilih Pileg selalu lebih tinggi dibanding Pilpres. Tingginya angka partispasi pemilih Pileg daripada Pilpres itu, ditengarai karena para calon legislatif, khususnya untuk DPRD kabupaten dan DPRD provinsi, dikenal bahkan memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat di dapilnya. Hal itu karena para caleg adalah penduduk daerah setempat, bahkan memiliki hubungan kekerabatan (kliental) dengan kebanyakan pemilih. Lantaran pemilih merasa mengenal para caleg itulah, mereka lalu memiliki kepastian mengenai figure caleg yang akan dipilihnya dan ingin memenangkan yang bersnagkutan. Pemilih pun lalu bergairah pergi mencoblos ke TPS, dan menjadikan tingkat partisipasi Pileg tinggi.   Hal itu tentu saja berbeda dengan Pilpres, yang mana meski mengenal para calonnya, namun sebagaian besar pemilih tidak memiliki kedekatan emosional atau kekerabatan dengan para calon presiden/wapres. Sehingga, untuk pergi ke TPS, mereka tidak seantusias ketika memilih caleg dalam Pileg. Namun fenomena politik berbeda, terjadi pada Pemilu 2019. Nampaknya, pada Pemilu serentak kali ini, kebanyakan pemilih justru lebih bergairah memilih capres/wapres dibanding memilih caleg. Terlebih, secara teknis memilih capres/wapres lebih sederhana dibanding caleg. Surat suara capres/wapres ukurannya kecil, ada gambar foto pasangan calonnya, dan tidak serumit surat suara calon anggota DPR/DPRD yang ukurannya besar, calonnya banyak, dan hanya ada tulisan nama calon tanpa gambar foto. Kegairahan masyarakat untuk memilih capres/cawapres itu dipicu kuatnya setiap pasangan calon beserta tim pemenangannya dalam mengkampanyekan dirinya masing-masing. Apalagi dalam berkampanye, mereka acap membawa isu identitas, yang memantik rasa fanatisme dari pemilih atau komunitas yang seidentitas dengan pasangan calon bersangkutan. Fanatisme itu menggairahkan warga datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya dan guna memenangkan pasangan seidentitas yang didukungnya. Pemilu 2019 seolah menggabungkan dua kegairahan datang ke TPS itu, yakni para pemilih yang ingin mencoblos caleg yang didukungnya, dan para pemilih yang ingin mencoblos pasangan capres/cawapres jagonya. Saat di TPS, bagi pemilih yang terdaftar di DPT akan menerima lima surat suara sekaligus (capres/cawapres, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten), sehingga meski sebetulnya ia hanya ingin memilih capres/cawapres, namun karena mendapat empat surat suara lainnya, pemilih itu juga mencoblos surat suara lainnya. Begitu pula, mereka yang tujuan utamanya ke TPS sebenarnya ingin mencblos caleg jagonya, akhirnya juga ikut mencoblos empat surat suara lainnya. Hal itu membuat partisipasi pemilih Pemilu 2019 lebih tinggi daripada saat Pileg dan Pilpres sebelumnya yang digelar terpisah. Faktor lain yang kemungkinan menjadikan partisipasi Pemilu 2019 tinggi, ialah keberhasilan sosialisasi pemilu dari penyelenggara dan stakeholder pemilu. Seperti diketahui penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, saat ini memiliki jajaran bertingkat yang lengkap. Yaitu, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamata, desa dan TPS, yang salah satu tugas dan kewajibannya adalah menyosialiasikan pemilu. Di aras lainnya, stakeholder pemilu ikut pula menyosialisasikan Pemilu 2019. Stakeholder tersebut ialah pemerintah, organisasi sosial/kemasyarakatan/keagamaan/kepemudaan/perempuan, LSM kepemiluan, serta peserta pemilu. Penyelenggara dan stakeholder itu melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih secara massif melalui berbagai media, yang tentunya berperan dalam menyadarkan masyarakat akan pentingnya pemilu, sehingga mereka terdorong menggunakan hak pilihnya di TPS. Di beberapa daerah pedesaan, faktor tingginya soliditas sosial atau budaya guyub rukun, bisa pula memengaruhi tingginya angka partisipasi pemilih dalam pemilu. Pada komunitas yang memiliki budaya guyub rukun, ketika ada suatu perhelatan atau acara sosial tertentu, seluruh warga akan berupaya ikut terlibat atau hadir dalam acara itu. Umpamanya ketika ada hajatan, ada warga yang meninggal, kerja bhakti, dan lain-lain. Warga akan merasa tersingkir dan bahkan merasa dicap asosial, tidak kompak, dan sebagainya ketika tidak ikut terlibat pada acara itu. Demikian pula, tatkala ada hajatan nasional berupa pemilu yang berbentuk penggunaan hak pilih di TPS, pada daerah dengan soliditas dan solidaritas sosial yang tinggi, tentunya akan membuat seolah warga setempat wajib datang ke TPS. Kalau sebagaian besar warga berbondong-bondong ke TPS, sementara dirinya tidak ikut melakukan hal yang sama, bisa jadi akan merasa terasing dari komunitasnya, dan dicap sebagai warga yang tidak umum seperti lainnya. Di samping itu, kemungkinan adanya faktor negatif berperan dalam pencapaian partisipasi pemilih terbuka pula. Misal, massifnya praktik politik uang (money politic) peserta pemilu. Apalagi, hingga saat ini bukan hal mudah bagi pengawas pemilu untuk menangkap, menjerat, dan mempidanakan pelaku praktik politik uang itu. Dengan telah bertransaksi politik uang, mengharuskan pemilih penerimanya datang ke TPS guna memberikan suara bagi calon yang memberi uang. Diakui atau tidak, praktik tercela itu bisa ikut mendukung tingginya partisipasi pemilih. Hal negatif lain yang memengaruhi partisipasi pemilih ialah permaianan data pemilih. Partisipasi pemilih ialah perbandingan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya dengan jumlah pemilih yang terdaftar di DPT. Karena itu, ketika jumlah pemilih di DPT yang berpotensi tidak hadir di TPS berkurang, angka partisipasi meningkat. Biasanya penyelenggara Pemilu tingkat desa atau TPS mengetahui warga yang terdaftar di DPT namun tidak pernah datang ke TPS setiap kali pemilu atau Pilkada. Seperti karena merantau, kurang peduli dengan pemilu, dan sebagainya. Jika mereka tetap terdaftar di DPT dan tidak datang lagi ke TPS, akan mengurangi angka partisipasi pemilih. Karenanya, pemilih itu bisa saja lalu dihapus dari DPT oleh penyelenggara pemilu dengan alasan termasuk pemilih tidak memenuhi syarat. Dengan begitu, yang masuk di DPT hanya warga yang hampir pasti datang ke TPS pada hari pemungutan suara, sehingga partisipasi pemilih terjaga. Bagaimana jika pemilih yang dihapus itu di hari ‘’H’’ datang ke TPS?. Guna mengakomodirnya pemilih itu dimasukkan ke DPK (Daftar Pemilih Khusus), yakni pemilih tidak masuk di DPT atau DPTb namun memiliki KTP. Paparan di atas baru asumsi faktor pemicu tingginya partisipasi pemilih Pemilu 2019. Perlu survei/penelitian guna memastikan faktor apa yang sejatinya menentukan tingginya partisipasi pemilih. Hasil survei, tentunya bermanfaat pula untuk pertimbangan dalam menentukan program dan strategi sosialisasi pemilu ke depan.   

Populer

Belum ada data.